Wednesday, June 20, 2007

haji dan multikulturalisme

Haji dan Multikulturalisme

Aku tidak mau bergabung dengan para pelajar India, Pakistan, dan Bangladesh karena mereka suka menggunakan parfum yang wanginya akan membuatku muntah. Kami hanya ingin berjalan-jalan dengan para pelajar Korea, Spanyol, Cina, Jepang, Australia atau negara-negara Eropa lainnya. Kami tidak suka tampak berkawan dengan para pelajar lain yang kelihatan kotor, berdaki, hitam, miskin, dan tidak keren.”

(Catatan Harian seorang pelajar Indonesia di luar negeri).

Walaupun aku seorang Muslimah, aku merasa tidak dapat cair dengan komunitas Muslim lain di Indonesia. Mereka selalu menatapku dengan pandangan ganjil.”

(Pernyataan seorang Muslimah Cina Indonesia)

Kalau Anda pergi haji, Anda akan bertemu dengan jutaan manusia dari berbagai bangsa, bahasa, kultur, suku, mazhab, dan aliran dan kesemuanya tumplek melakukan ritual manasik haji. Semua manusia yang unik itu melakukan hal yang sama selama beberapa waktu. Mereka berangkat dari tanah air mereka meninggalkan segala yang mereka miliki dan cintai untuk menjalani sebuah pertemuan puncak dengan Allah Swt.

Haji adalah kewajiban yang sangat fenomenal karena melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar. Di saat-saat itulah setiap orang akan melihat saudaranya yang lain, yang berbeda secara fisik, ras, kulit, bahasa, kultur, mazhab dan mungkin ideologi politik.

Dalam haji itu, seolah-olah Allah ingin mengingatkan kepada manusia bahwa Dia memiliki makhluk yang bernama manusia yang beraneka ragam dan itu adalah saudara Anda semua. Anda harus berkenalan dengan mereka dan bukan sekadar mengenal biasa, tapi Anda harus mengenal lebih dalam lagi, memahami karakter dan keunikan mereka. Anda belum memperlakukan saudara Anda dengan benar selama Anda tidak mau mempelajari keunikan mereka.

Islam memang dicintai oleh berbagai kalangan yang beragam, dari berbagai bangsa, bahasa, dan etnik. Ini adalah agama yang bisa mewadahi semua golongan dan kelompok dan agama yang sangat menghargai perbedaan kultur. Inilah agama yang multikultural. Karena itu, Islam jelas menganjurkan nilai-nilai multikulturalisme.

Semenjak awal Islam adalah agama yang multikultural dan plural. Secara internal hal itu tampak dari keanekaragaman mazhab fikih, teologi, atau tasawuf yang ada di dalam Islam seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Ja’fari (dalam fikih); Muktazilah, Asy’ariyah (dalam kalam) dan sebagainya.

Keragaman adalah realitas. Mengabaikan realitas adalah mengabaikan sejarah, identitas, dan pemikiran. Salah satu realitas adalah bahwa manusia memiliki identitas yang berbeda-beda. Identitas itu jelas diciptakan oleh lingkungan, etnik, nalar, ideologi, dan sebagainya dan pada gilirannya identitas juga turut mewarnai karakter dalam segala dimensinya.

Multikulturalisme merupakan sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya lain. Itu penting kita pahami bersama dalam kehidupan masyarakat multikultural seperti bangsa Indonesia. Jika tidak, mungkin akan selalu terjadi konflik akibat ketidaksaling pengertian dan memahami realitas multikultural tersebut.

Sama dengan diskursus tentang perbedaan gender yang memunculkan paradigma kesetaraan gender, dalam diskursus multikulturalisme itu, sebetulnya juga ditekankan upaya untuk mewujudkan kesetaraan budaya. Bila dilacak, akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.

Berangkat dari kronologi pergulatan wacana tersebut, sebenarnya multikulturalisme dapat dipahami sebagai konsep sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan yang mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, maupun agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan beragam budaya (multikultural).

Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani terhadap budaya minoritas. Semuanya tumbuh bersama dan memiliki peluang yang sama untuk menggapai kesejahteraan bersama (achieve of welfare). Masing-masing budaya memiliki kesempatan yang sama untuk menampakkan eksistensinya tanpa diskriminasi. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pemberdayaan terhadap seluruh potensi yang ada dalam masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama maupun sosial budaya.

Dimensi multikulturalisme ini sebenarnya tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam (rahmat(an) lil ‘âlamîn). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis, tetapi juga sosial-budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah saw, juga sangat menghargai eksistensi pluralitas budaya dan agama.

“Wahai manusia, sungguh telah Allah ciptakan kalian dari seorang lelaki dan perempuan, menjadi pelbagai bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesunguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu dan Maha Mengenali” (QS. al-Hujurat:13).

Haji adalah sarana latihan agar seorang individu Muslim menjadi seorang pemelihara nilai-nilai multikulturalisme. Untuk dapat mengelola multikulturalisme seorang individu harus mampu mentransendensikan dirinya ke dalam ke-“aku”-an yang lebih luas dalam level yang lebih tinggi dan melampaui batas-batas golongan, etnik, agama, bangsa atau negara.

Kemampuan transendensi dapat diperoleh melalui belajar dan latihan. Oleh karena itu, siapa pun dapat belajar dan berlatih untuk mentransendensikan dirinya, dan setiap orang yang berusaha untuk mentransendesikan dirinya sebenarnya berada dalam sebuah proses menjadi “aku” yang lebih tinggi.

Pendidikan monokultur dengan mengabaikan keunikan dan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, memasung pertumbuhan pribadi kritis dan kreatif. Akibatnya, warga bangsa ini hanya memiliki jalan tunggal menjalani hidup kebangsaannya hingga gagal mengatasi problem kehidupan yang kompleks dan terus berkembang. Persoalan sederhana akan mudah berkembang lebih kompleks akibat tidak ditangani secara proporsional.

Dahulu kala, dalam menyebarkan misi Islam di Indonesia, para Wali Songo pernah memakai metode dakwah multikultural. Yaitu, agama lintas budaya tanpa membedakan ragam budaya, lintas etnik tanpa mengagungkan etnik tertentu, dan lintas gender tanpa memuliakan jenis kelamin tertentu. Apalagi kaya-miskin. Pendek kata, agama dihadirkan di ruang publik yang sangat humanis-multikulturalis.

(tulisan ini diadopsi dari sebuah makalah tentang multikuralisme)

No comments: