Thursday, June 21, 2007

Puasa Dalam Budaya Lokal

Munggahan, Siyam dan Selam (Islam) di Tatar Sunda

Yen sembahyang kungsi pusuke panah

(Jika salat harus khusuk dan tawadlu seperti anak panah yang menancap kuat)

Yen puasa den kungsi tetaling gundewa

( Jika puasa harus kuat seperti tali panah).

Ibadah kang tetep

(Ibadah harus terus menerus )

Wedia ing Allah

(Takutlah kepada Allah)

Manah den syukur ing Allah

( Hati harus banyak bersyukur kepada Allah )

Kudu ngahekaken pertobatan

( Harus memperbanyak bertobat )

(Sunan Gunung Jati)

Bulan suci Ramadhan mempunyai makna penting bagi umat Islam di mana pun. Kehadiran bulan yang penuh rahmat, berkah dan maghfirah itu pun disambut dengan berbagai upacara yang beraneka ragam pula. Di Propinsi Jawa Barat (Jabar), misalnya, tradisi menyambut bulan Ramadhan atau puasa dikenal dengan istilah "munggahan". Pada hampir semua kabupaten/kota di "Tatar Sunda" ini, suasana "munggahan" mulai terasa pada sepekan terakhir.

Meski dengan "modifikasi" seiring dengan perkembangan budaya,"munggahan" sebagai tradisi masyarakat di Jabar untuk menyongsong bulan suci Ramadhan masih tetap dilakukan di tengah kian masuknya ancaman budaya luar, yang di sana-sini mulai menggeser budaya dan tradisi Indonesia.

"/Ngabuburit/ yuk, /ngabuburit/ yuuuk!"Begitulah ajakan seorang anak kepada temannya menjelang sore hari.Tepatnya di saat mereka ingin bermain ke berbagai tempat sambil melewatkan waktu menjelang buka puasa.Tradisi ini sangat dikenal pada masyarakat Jawa Barat, termasuk warga Bandung. Bagi penduduk Bandung, /ngabuburit/ (menunggu waktu berbuka) dibulan Ramadhan adalah sesuatu yang menyenangkan, terutama bagi para anakdan remaja.

Kegiatan /ngabuburit/ ini ternyata juga ada di berbagai daerah, hanya saja namanya berbeda. Anak-anak, orang tua memiliki banyak kegiatan untuk melewatkan waktu puasa. Dengan padatnya aktivitas biasanya kita tak terasa merasakan lapar dan haus.

Dulu, setelah mengaji di masjid atau mushala, anak-anak biasanya mulai berkumpul di sore hari sekitar pukul 15.00 atau 16.00. Mereka umumnya asyik main petak umpet, galasin, atau bahkan bermain bola. Memang, dulu anak-anak cukup atraktif dalam mengisi acara Ramadhan.Tapi kini dengan semakin banyaknya permainan modern, permainan-permainan tradisional seperti itu semakin ditinggalkan. /Ngabuburit/ telah diganti dengan acara bermain game atau menonton VCD. Anak-anak lebih senang bermain di rumah. Kalaupun pergi /ngabuburit/ keluar rumah, anak-anak sekarang biasanya lebih suka mengunjungi berbagai tempat hiburan atau pertokoan.

Untuk ta'jil, masyarakat Bandung kebanyakan memilih kolak, colenak(makanan yang terbuat dari tapai yang dibakar dibumbui gula merah),serta berbagai minuman khas Bandung seperti bajigur dan bandrek. Namun yang paling banyak diminati warga Bandung saat berbuka puasa adalah kolak cangkaleng (kolang-kaling) ketimbang jenis kolak lainnya.Kegiatan /ngabuburit/ ini ternyata juga ada di berbagai daerah, hanya

saja namanya berbeda. Anak-anak, orang tua memiliki banyak kegiatanuntuk melewatkan waktu puasa. Dengan padatnya aktivitas biasanya kitatak terasa merasakan lapar dan haus.

Kekhusukan salat Tarawih juga sangat terasa. Semuanya larut dalam doa-doa dan khlasan menghadap dan memuji Yang Maha Pencipta serta Nabi Muhammad saw. Sayangnya, kekhusukan ibadah malam pertama Ramadan kadang-kadang sukai diganggu oleh suara petasan. anak-anak kecil dan remaja di Kota Bandung misalnya masih banyak yang secara sengaja membunyikan petasan. Suaranya yang memekakkan telinga terdengar di mana-mana, sejak Isya sampai selesai salat Tarawih.

Ringkasan historis Antara Sunda Dan Islam

Ti meletuk datang ka meletek

ti segir datang ka segir deui

lamun dirobah buyut kami

lamun hujan liwat ti langkung

lamun halodo liwat ti langkung

tangsetna lamun buyut dirobah

cadas malela tiis

buana larang, buana tengah, buana nyungcung

pinuh ku sagara

(Pikukuh Baduy)

Disimpulkan bahwa dalam pengembaraan mencari Tuhan akhirnya orang Sunda menemukan Hiyang sebagai Tuhan mereka. Hiyang itu adalah zat yang gaib yang menciptakan, menguasai, dan menentukan kehidupan manusia dan kehidupan alam pada umumnya. Dia berada di luar alam kehidupan manusia. Hiyang bersemayam di Kahiyangan. Sifat-sifat Hiyang tercermin dalam julukan-Nya, antara lain Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Sanghiyang Keresa (Yang Kuasa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam Semesta). Mereka pun membuat ajarankeyakinan, tata cara peribadatan kepada Hiyang, dan etika hidup keagamaan mereka sendiri. Ajaran keyakinan, tata cara peribadatan, dan etika hidup keagamaan mereka dinamai agama Jatisunda.

Tanpa menyebutkan identitas sumbernya, J.Hageman (1867) mengungkapkan bahwa Haji Purwa adalah orang Sunda pertama yang memeluk agama Islam. Ia berasal dari kalangan keluarga Keraton Galuh dan berprofesi sebagai pedagang besar karena itu tergolong kaya raya. Ia tertarik dan masuk Islam, tatkala sedang berniaga di India. bersama istrinya, putri saudagar Muslim India, ia menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari perniagaan dan ibdah haji, ia diterima baik olehraja dan keluarga keraton lainnya di ibu kota Galuh, hanya keluargaKeraton Galuh tidak bersedia masuk Islam mengikuti Haji Purwa. Selanjutnya, Haji Purwa dan keluarganya menetap di Cirebon Girang.

Peristiwa yang bertalian dengan Haji Purwa tersebut terjadi pada masa kekuasaan bercirikan pengaruh Hindu di Tanah Sunda masih kuat (1336).Raja dan keluarga Keraton Galuh bersikap dapat menerima anggota keluarga mereka menganut agama Islam. Sesungguhnya informasi lebih lengkap mengenai proses masuknya Islam tokoh Haji Purwa terdapat dalam naskah/Pangeran Wangsakerta/ dari Cirebon. Akan tetapi, karena masih ada yang tidak menerima naskah ini sebagai sumber sejarah, di sini tidak akan dikemukakan informasinya itu. Yang jelas, J. Hageman bukan menggunakan sumber naskah Pangeran Wangsakerta bagi karangannya, melainkan sumberlain karena naskah Pangeran Wangsakerta baru ditemukan (lagi) lebih dari satu abad kemudian.

Sikap terbuka dan dapat menerima orang Islam dan agama Islam pada kalangan elite birokrat Kerajaan Galuh/Sunda tampak jelas pada sikap penguasa kota pelabuhan Cimanuk (Indramayu sekarang), sebagaimana dicatat oleh Tome Pires, seorang Portugis, yang mendatangi kota pelabuhan tersebut tahun 1513. Arah perjalanan Tome Pires menyusuri pesisir utara Pulau Jawa dari barat menuju ke timur.

Pada waktu itu Cimanuk merupakan kota pelabuhan Kerajaan Sunda paling timur dan menjadi batas wilayah kerajaan. Kehidupan masyarakat kota pelabuhan Cimanuk berjalan biasa dan kegiatan perniagaan berlangsung cukup ramai. Penguasa kota pelabuhan ini yang disebutkan sebagai orang terpenting beragama lama (disebutnya kafir), tetapi banyak orang Islamtinggal di sini. (/The port of Chi Manuk ... Many Moors live here. The captain is a heathen. It belongs to the king of Sunda. The end of thekingdom is here. Chi manuk has good trade... The lords captains of these ports are very important people/) (Cortesao, 1944:173).

Tome Pires singgah pula di kota pelabuhan Cirebon. Dikatakannya bahwa sejak Cirebon hingga Blambangan termasuk ke dalam lingkungan Jawa.Cirebon merupakan kota pelabuhan yang lebih bagus dan besar serta kegiatan perniagaannya lebih ramai. Di kota pelabuhan ini banyak bermukim saudagar Muslim, antara lain yang berasal dari Malaka. Penguasa dan penduduk kota pelabuhan Cirebon sudah beragama Islam, tetapi sekira 40 tahun lalu penduduk kota Cirebon umumnya masih kafir (Cortesao, 1944:173, 183).

Dengan kata lain, pada waktu itu Cirebon sudah melepaskan diri dari keterikatan dengan Kerajaan Sunda dan telah menjadi kerajaan Islam yangberdiri sendiri serta bersekutu dengan Demak yang telah mengalahkan Majapahit. Kepindahan sejumlah saudagar Muslim Malaka dan kemudian menetap di kota pelabuhan Cirebon dapat dipahami karena dua tahunsebelumnya (1511) Malaka itu berhasil direbut dan diduduki oleh armada Portugis.

Sehubungan dengan kasus Cirebon dan kasus Demak, penguasa pemerintah pusat Kerajaan Sunda memutuskan untuk tidak menerima kedatangan saudagar Muslim secara besar-besaran di ibu kota kerajaannya (Pakuan Pajajaran), kecuali sedikit orang saja, karena takut mengalami peristiwa seperti

yang terjadi di Tanah Jawa (Majapahit) (/The kingdom of Sunda does not allow Moors in it, except for few, because it is feared that with their cunning they may do there what has been done in Java;.../.).

Berdasarkan berita Tome Pires tersebut, proses pengislaman Cirebon sehingga menjadi wilayah kaum Muslimin terjadi sekira tahun 1473.Informasi tersebut sejalan dengan peraturan yang diungkapkan sumber

tradisi Cirebon antara lain dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang menyatakan bahwa Cirebon yang penduduknya sudah Muslim melepaskandiri dari keterikatan dengan Kerajaan Sunda pada tahun 1479.

Itulah sebabnya, kiranya Bujangga Manik, seorang keluarga Keraton Pakuan Pajajaran yang sesungguhnya bernama Prebu Jaya Pakuan dan dua kali melakukan perjalanan darat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (kota Bogorsekarang) ke tanah Jawa melalui daerah jalur utara pada akhir abad ke-15atau awal abad ke-16 serta kisah perjalanannya diabadikan dalam karya tulisnya berjudul Bujangga Manik, seperti menghindari singgah di kota Cirebon, bahkan menyebutkannya pun tidak. Padahal, rute perjalanannya melalui daerah sebelah utara Gunung Ciremai.

Mustahil ia tidak tahu kota pelabuhan Cirebon yang cukup besar, padahal ia menyebut Gunung Ciremai dan beberapa nama tempat kecil di selatan Cirebon, seperti Timbang, Kuningan, Luhur Agung (Luragung), Darma -- semua tempat itu berada di daerah Kabupaten Kuningan sekarang. Memang yang dikunjungi dan disebutkan namanya oleh Bujangga Manik, terutama tempat-tempat keagamaan yang bersifat Hindu-Budha. Akan tetapi, nama wilayah Demak yang tentu sudah Islam disebutnya walaupun tidak disinggahi.

Ketika melewati sekitar Cirebon, pandangan Bujangga Manik seperti hanya diarahkan ke selatan dan tak pernah menengok ke utara dan rute perjalanannya pun menjauh ke pedalaman. Selain itu, Bujangga Manik sama sekali tidak menyebut adanya agama atau penganut agama Islam, baik di tanah Sunda maupun di tanah Jawa. Padahal, pada waktu itu sudah banyak pemeluk agama Islam berdatangan dan menetap di pesisir utara Pulau Jawa dengan mata pencaharian berdagang.

Tatkala pulang dari perjalanan pertama, ia menumpang kapal milik pedagang Malaka dari pelabuhan Pemalang dan ia sangat dihormati oleh kapten kapalnya yang sangat mungkin sudah beragama Islam. Dalam pertemuannya dengan orang asing (keling, Cina, Bugis), ia hanya menyebut identitas negeri dan bangsanya saja, sama sekali tidak menyebut identitas agamanya. Padahal, ia sendiri seorang penganut agama yang taat dan sedang dalam perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci keagamaan (mandala) serta kemudian mengabdikan dirinya dalam kegiatan keagamaan dengan menetap di beberapa pertapaan sampai akhir hayatnya.

Dengan demikian, Bujangga Manik dalam kehidupan beragama bersikap tidak ambil peduli dengan agama orang lain (sikap: bagimu agamamu, bagiku agamaku), melainkan hanya memusatkan perhatian kepada agama yang dianutnya sendiri. Begitu pula penyusun karya tulis Sanghiyang Siksakandang Karesian yang pada tahun 1518 mencatat berbagai hal yang bertalian dengan kebudayaan Sunda masa itu, sama sekali tidak menyinggung tentang agama Islam. Padahal, pada masa itu sudah banyak warga Kerajaan Sunda yang telah memeluk agama Islam, seperti diberitakan oleh Tome Pires tersebut di atas.

Sikap pemimpin agama Kerajaan Sunda terhadap Islam didapatkan pada naskah Carita Parahiyangan yang disusun tidak lama sesudah Kerajaan Sunda runtuh (1580). Pengarangnya sendiri tampaknya seorang pendeta yang bermukim di wilayah Galuh (daerah sebelah timur Sungai Citarum), tetapi punya hubungan dekat dengan lingkungan Keraton Kerajaan Sunda. Pengarang ini bersikap kritis terhadap 4 orang raja Sunda terakhir yang dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Sunda.

Dalam karangannya ini, tercatat penggunaan empat kosakata bahasa Arab,yaitu /niat, dunya, selam/, dan /tinja/, yang menunjukkan budaya Islam sudah mulai merasuk ke dalam masyarakat Sunda, betapapun kecilnya, Islam disebutnya dengan istilah selam.

Sikapnya terhadap Islam bukan ditujukan kepada Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai kekuatan politik yang dijalinkan dengan Demak dan Cirebon. Dalam karangannya, ia menyatakan: /"Tembey datang naprebeda... Metu sanghara ti Selam... Pahi eleh ku Selam. Kitu, kawisesaku Demak deung ti Cirebon, pun"/ (Lalu datang perubahan. Datang bencana dari Islam... Semua kalah oleh Islam. Demikianlah, dikuasai oleh Demak dan Cirebon).

Sikap pengarang terhadap Islam demikian menyertai sikap ketidak puasanterhadap 4 raja Sunda terakhir. Ia menyindir Prabu Ratudewata(1535-1543) dengan mengatakan, "Jangan berpura-pura rajin puasa" dan"begitulah zaman susah". Penggantinya, Sang Ratusaksi (1543-1551),dikecam sebagai raja yang berperilaku buruk karena melanggar hukum tentang wanita terlarang, membunuh orang tak bersalah, merampas hak orang tanpa perasaan, tidak berbakti kepada orang tua, dan suka menghina pendeta.

Raja Sunda selanjutnya, Tohaan di Majaya (1551-1567) dikatakan lebih mengutamakan program memperindah keraton dan suka bersenang-senang dalam kehidupan duniawi daripada program meningkatkan kesentosaan negara dan kesejahteraan hidup rakyat sehingga disebutnya sebagai zaman kehancuran (zaman besi).

Pada masa pemerintahan raja Sunda terakhir, Nu Siya Mulya (1567-1579),terjadi perubahan perilaku orang dari kehalusan budi tenggelam ke dalam keserakahan nafsu (/bwana alit sumurup ring ganal/) sehingga Kerajaan Sunda runtuh digantikan oleh Cirebon.

Walaupun begitu, secara tersirat pengarang /Carita Parahyangan/ mengakui bahwa proses islamisasi di Tanah Sunda umumnya berlangsung secara damai,kecuali di 9 lokasi, yaitu Rajagaluh (di Majalengka), Kalapa (Jakarta),Pakuan (Bogor), Galuh (Ciamis), Datar, Madiri, Jawakalapa, Gegelang (Pandeglang), dan Salajo. Islam tidak dinyatakan sebagai musuh, tetapi hanya dipandang sebagai pihak yang mendatangkan bencana.Runtuhnya keseluruhan kerajaan Sunda tidak semata-mata disebabkan oleh kekuatan Islam, melainkan terutama disebabkan oleh kelemahan di dalam kerajaan itu sendiri yang berjalan cukup lama (44 tahun). Meskipun demikian, Kerajaan Sunda masih bisa bertahan selama lebih dari 50 tahun dibandingkan dengan waktu keruntuhan Kerajaan Majapahit.

Sejajar dengan informasi tersebut di atas, keterangan yang berasal dari pihak Islam pun (sumber tradisi Cirebon seperti Babad Cirebon, tradisi Banten seperti Sejarah Banten, dan tradisi Priangan seperti Babad Godog) mengakui bahwa proses islamisasi di tanah Sunda pada umumnya berjalan secara damai, kecuali bagi daerah-daerah Rajagaluh dan Talaga(Majalengka), Pakuan (Bogor), dan Gunung Karang (Banten).

Dituturkan lebih jauh bahwa islamisasi di tanah Sunda diawali oleh kegiatan perguruan agama Islam di bawah asuhan ulama pendatang, sepertiSyekh Quro di Karawang, Syekh Nurjati, Syekh Datuk Kahpi, dan kemudianSunan Gunung Jati Cirebon, Maulana Hasanuddin di Banten, SyekhAbdulmuhyi di Pamijahan (Tasikmalaya), Syekh Arif di Cangkuang (Garut),Sunan Godog di Suci (Garut), Sunan Cikadueun di Pandeglang, AriaWangsagoparana di Sagalaherang (Subang). Lokasi dan peninggalan kegiatan mereka dianggap keramat dan banyak diziarahi orang hingga masa sekarang.

Dari pihak kaum Musliminnya pun, mereka melakukan pendekatan budaya terhadap penganut agama lama, seperti tercermin dengan pengakuan dalam cerita legenda (seperti dalam Babad Cirebon) bahwa Sunan Gunung Jati,penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda yang berpusat di Cirebon, secara genealogis masih keturunan (cucu) Prabu Siliwangi,raja Sunda termasyhur dan terakhir. Muncul pula cerita legenda di wilayah Priangan (/Babad Godog/) bahwa islamisasi di daerah pedalaman tanah Sunda dilakukan oleh Kian Santang, putra Siliwangi, walaupun ayah dan sebagian rakyatnya menolak masuk Islam; sedangkan Kian Santang sendiri diislamkan langsung oleh Nabi Muhammad melalui pertarungan ketinggian ilmu kedigjayaan dengan Bagenda Ali (Ali Abi Thalib: sahabat,saudara sepupu, dan menantu Nabi).

Data-data sejarah membuktikan bahwa jika proses Hinduisasi di tanahSunda, Indonesia umumnya, bermula dari kalangan atas atau elite(keraton), sebaliknya proses islamisasi bermula dari kalangan bawah atau rakyat biasa. Jika kalangan rakyat biasa terbatas jumlahnya yang menerima agama Hindu dan Budha karena mereka kebanyakan mempertahankan keyakinan lamanya yang memuja arwah leluhur, tetapi agama Islam disamping diterima oleh masyarakat kecil, juga selanjutnya diterima pula oleh kalangan elite.

Memang ada raja Sunda dan pengikutnya yang menolak masuk Islam, seperti tercermin pada tokoh legenda Prabu Siliwangi dan sebagian kecil rakyatnya, namun bagian terbesar kalangan elite dan rakyat Sunda bersikap dapat menerima agama Islam dan dengan sukarela mereka masuk Islam. Di samping itu, jika terhadap ajaran agama Hindu dan Budha muncul ketidak puasan di kalangan orang Sunda, mereka mencari alternatif lain dan muncullah agama Jatisunda sebagai jalan keluarnya.

Akan tetapi, terhadap ajaran Islam tidak muncul ketidakpuasan demikian sehingga tidak terjadi peralihan agama secara berarti dari sudut kuantitas dan kualitas. Memang pernah ada gejala ketidakpuasan di kalangan sekelompok kecil kaum Muslimin, seperti ditandai dengan munculnya agama Jawa Sunda atau Madraisme di Cigugur (Kuningan) dan aliran kepercayaan Perjalanan di Bandung pada awal dan pertengahan abad ke-20. Akan tetapi, kedua kasus tersebut bukan disebabkan oleh ketidak puasan terhadap ajaran agama, melainkan ketidakpuasan terhadap lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu, jika penganut agama Hindu dan Budha serta agama jatisunda secara massal beralih agama menjadi penganut Islam, kecuali kelompok masyarakat Kanekes (Baduy) di pedalaman Banten, ketika kepada mereka diperkenalkan agama Islam; akan tetapi kaum Muslimin dan Muslimat Sunda umumnya menolak berganti agama, ketika kepada mereka diperkenalkanagama lain oleh orang Barat. Hingga sekarang, agama Islam dianut oleh lebih dari 95% orang Sunda dan banyak memengaruhi alam pikiran,perasaan, perilaku, dan pola hidup mereka sehari-hari.

Mengapa semua lapisan orang Sunda menerima Islam sebagai agama anutan mereka? Mengapa pula orang Sunda terus memegang teguh Islam sebagai agama anutan mereka? Jawaban yang memuaskan atas dua pertanyaan tersebut tentu harus didekati secara multidimensi karena masalahnya kompleks yang meliputi keseluruhan hidup orang Sunda secara individual dan komunal serta meliputi rentang waktu yang panjang dan wilayah yang cukup luas.

Sebagai langkah awal, dua pertanyaan tersebut dicoba dijawab melalui pendekatan sejarah dan sedikit perbandingan ajaran agama dan pelaksanaannya dalam kehidupan budaya mereka. Dalam hal ini akan diperbandingkan antara ajaran yang dinamai agama Jatisunda (SundaWiwitan) yang dijadikan pedoman hidup orang Sunda masa pra-Islam dengan ajaran agama Islam yang bertalian dengan konsep-konsep: Tuhan, alam semesta, kehidupan sesudah kematian, sistem pemilihan ganda dalam menjalani hidup manusia, dan tanpa atau amal.

Di awal tulisan ini telah dikemukakan bahwa dalam pengembaraannya mencari Tuhan, orang Sunda masa pra-Islam menemukan Hiyang sebagaiTuhan mereka. Ternyata rumusan dan sifat-sifat Hiyang itu, sebagaimana diutarakan dalam artikel yang lalu dan awal artikel ini memiliki beberapa persamaan makna dan gambaran dengan rumusan makna dan gambaran Tuhan dalam ajaran agama Islam, yang berbeda menyangkut istilah-istilahnya semata.

Yang paling prinsipil ialah keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan hanya satu. Dalam ajaran Jatisunda, hal itu disifatkan dengan sebutan /BataraTunggal/ dan dalam ajaran agama Islam dirumuskan dalam ungkapan /AllahuAhad/, Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaannya dalam wujud gaib, yang dalam ajaran Jatisunda disebut /Batara Seda Niskala/ dan dalam Islam disebut bersifat /Wujud adh-Dhohiru wal Baatinu/.

Begitu pula mengenai keyakinan bahwa Tuhan itu adalah /Khaliq/ (penciptaalam semesta), bukan /makhluq/ (hasil ciptaan, alam semesta beserta isinya, termasuk manusia) dan jadi dengan sendiri-Nya (/QiyamuhuBinanafsihi/), tidak diciptakan oleh yang lain. Tuhan itu adalah Mahakuasa, menguasai alam semesta, /Rabb al-'alamin/, yang dalam ajaran Jatisunda disebut /Sanghiyang Keresa/ dan /Batara Jagat/, Tuhan diimani Maha Berkehendak, jika menghendaki sesuatu, hanya difirmankan, "Jadi,maka jadilah" /(Kufa yakun)/, yang dalam ajaran Jatisunda disifati /NuNgersakeun/.

Dalam konsep agama orang Sunda masa pra-Islam, sebagaimana digambarkandalam naskah /Serat Catur Bumi/, alam tempat hidup manusia disebut madyapada, di luar madyapada di atasnya ada alam saptabuwana/berlapis tujuh dan di bawah madyapada ada alam saptapatala/ berwujud neraka. Sesungguhnya di atas /saptabuwana/ masih ada alam lain yang suasananya makin hening sampai yang paling tinggi adalah alam/kahiyangan/, tempat bersemayam /Hiyang/. Gambaran alam semesta seperti demikian didapatkan pula di dalam ajaran Islam, paling tidak di dalam masyarakat Islam orang Sunda.

Ajaran orang Sunda masa pra-Islam mengungkapkan adanya peristiwa kematian yang dialami manusia dalam hidup di duni, yaitu terlepasnya nyawa dari tempatnya pada raga. Peristiwa tersebut dinamai /kalepasan./Bagi orang yang selalu melakukan hubungan dengan /Hiyang/ melalui upacara-upacara ritual serta sikap dan prilaku selama hidup di dunia baik dan mengikuti tuntunan ajaran agamanya, peristiwa /kalepasan-/nya akan berlangsung dengan tenang dan kemudian segera diikuti moksa, yaitu rohnya naik ke atas menuju alam kahiyangan, melalui alam saptabuwana.

Bagi orang yang tak pernah atau jarang melakukan pemujaan terhadap/Hiyang/ serta sikap dan perilaku selama hidup di dunia buruk atau sering melakukan kejahatan dan melanggar ajaran agama, peristiwa/kalepasan-/nya berlangsung dahsyat dan mengerikan serta rohnya turun ke alam /saptapatala/ (neraka). Contoh peristiwa /kalepasan/ dan moksa dituturkan dalam naskah Sewaka Darma.

Selanjutnya, ajaran Jatisunda menuturkan pula adanya kehidupan manusia di alam sana setelah terjadi kematian /(kalepasan)/. Kesenangan atau kesengsaraan hidup di sana ditentukan oleh amal perbuatan manusia selama hidup di sunia. Jika amal perbuatannya baik atau banyak melakukan kebaikan menurut tuntunan ajaran hidup yang berlaku, akan mengalami kesenangan di alam sananya yang disebut surga atau /saptabuwana/ dan akhirnya ke /kahiyangan/.

Sebaiknya, jika perilaku sesorang selama hidupnya di dunia buruk,artinya banyak melakukan keburukan/kejahatan dan melanggar ajaran agama,maka ia akan mengalami kesengsaraan di alam sananya yang disebut neraka atau /saptapatala/. Peristiwa /kalepasan/ dalam Islam disebut/syakaratul maut/. Lebih jauh dalam Alquran, sumber primer ajaran Islam,dikemukakan bahwa setiap yang bernyawa, tentu termasuk manusia, akan mengalami maut (/Kullu nafsin dzaiqatul maut/).

Dalam Islam pun ada gambaran suasana yang tenang dan mengerikan dalam proses /syakaratul maut/ yang ditentukan oleh amal ibadah yang bersangkutan selama hidupnya di dunia. Setelah mengalami /syakaratul

maut/, roh manusia akan masuk ke alam barzah dan akan terus berada disitu sampai tiba hari kiamat. Pada hari kiamat ruh manusia akan dihidupkan kembali dan dikumpulkan serta diadili atau diperiksa dan ditimbang amal ibadahnya secara individual.

Jika amal ibadahnya (kebaikan) lebih berat timbangannya, ia akan masuk/jannatun na'im/ (surga) sebagai ganjaran. Sebaliknya, jika perbuatandosa dan prilaku buruk yang lebih berat timbangannya atau lebih banyak,ia akan dimasukkan ke dalam /naari jahannama/ (neraka jahanam) sebagai hukuman.

Hal lain yang mencerminkan persamaan antara ajaran agama orang Sundamasa pra-Islam dengan ajaran Islam yang perlu dikemukakan pula ialah mengenai sistem pilihan ganda yang dapat menentukan baik atau buruk dampak perjalanan hidup manusia di dunia ini dan akhirat kelak. Dalam menempuh perjalanan hidup di dunia, bagi manusia disediakan dua macam jalan, yaitu jalan yang benar/baik dan jalan yang salah/buruk menurut ajaran agama dan atau etika hidup.

Manusia diberi kesempatan untuk memilih salah satu dari dua jalan tersebut. Jika memilih jalan yang benar/baik, ia akan memetik buah kesejahteraan/kebahagiaan hidup di dunia dan di alam pascadunia.Sebaliknya, jika yang dipilih itu jalan yang salah/buruk, ia akan merasakan kesengsaraan/penyesalan hidup di dunia dan terutama di alam pasca dunia. Sebagai bekal hidup di dunia, manusia dianugerahi perlengkapan yang sempurna, baik raga (jasmani) maupun nyawa (ruhani).

Pada masa pra-Islam, orang Sunda diajari konsep yang disebut /dasakreta/ (sepuluh kesejahteraan). Seseorang bisa mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan apabila dia dapat memfungsikan /dasa indera/ (telinga,mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, dubur, dan kemaluan)secara baik dan benar (sesuai fungsi yang sesungguhnya dan ajaranagama). Akan tetapi, bila /dasa indera/ itu difungsikan kepada hal-hal

yang buruk dan tak sesuai dengan fungsi sesungguhnya, akan berdampak orang itu mengalami kesengsaraan dan kehinaan.

Rumusan ajarannya, misalnya, bagi indra telinga berbunyi, /"Ceuli ulahbarang denge mo ma nu sieup didenge keunana dora bancana, sangkan urangnemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utamati pangreungeu" (Telinga jangan mendengarkan yang tidak layak didengar

karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam pendengaran).

Di dalam Islam pun, Alquran sebagai sumber primer ajaran Islam, berulangkali mengemukakan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari dua jalan yang disediakan oleh Tuhan. Bila memilih jalan lurus, berupa melaksanakan perintah dan mencegah larangan Tuhan sebagaimana tertera dalam ajaran Islam (takwa), ganjarannya /jannatunna'im. Sebaliknya, bila yang dipilih itu jalan yang bengkok, berupa pelanggaran perintah dan mengerjakan larangan Tuhan, ia akan menerima siksa api neraka sebagai hukuman atas perbuatannya.

Akan tetapi, dalam konsep orang Sunda, bukan hanya mengandung pengertian melakukan upacara ritual keagamaan lainnya di kabuyutan (mandala) atau pertapaan (patapan, batur), melainkan pada dasarnya bermakna melakukan pekerjaan atau melaksanakan kewajiban kewajiban sebaik-baiknya sesuai dengan tugas, profesi, atau pekerjaan masing-masing, baik yang hidup di lingkungan mandala (tapa di mandala) maupun yang hidup di lingkungan negara (tapa di nagara).

Tapa dilakukan oleh siapa pun, pendeta, resi, raja, petani, prajurit,pedagang, pria, wanita, orang tua, anak-anak. Seorang pendeta yang mendidik anaknya dengan baik, sungguh-sungguh, dan ikhlas sehingga muridnya itu menjadi orang cerdas dan saleh maka ia telah melakukan tapa dengan sempurna. Begitu pula dengan seorang pejabat negara yang melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sungguh-sungguh dan ikhlas sehingga kesejahteraan hidup masyarakat menjadi terwujud maka ia telah melakukan tapa dengan sempurna.

Kualitas tapa seseorang dan juga hasil yang bisa diperoleh ditentukanoleh tingkat kebenaran, kesungguhan, dan keikhlasan dalam melaksanakantugas, kewajiban, dan pekerjaannya. Untuk lebih sahihnya, pengertian tapa itu dirumuskan dalam naskah /Amanat dari Galunggung/ (Kropak 632)./"...na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang,gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampes twah waya tapa,apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa...."/ (...bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatankita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedangtapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun kita ini,karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita).Dengan demikian, makna tapa itu sama dengan amal. Dalam Islam, amalibadah punya nilai yang tinggi dalam mengevaluasi kehidupan manusia didunia. Tinggi rendahnya derajat manusia, dalam pandangan Tuhan, bukan ditentukan oleh jabatan atau kekayaannya, melainkan oleh ketakwaan dan amal ibadahnya.

Pembahasan perbandingan ajaran agama ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan ciptaan Tuhan (ajaran Islam) dengan ciptaan manusia (ajaran Jatisunda) dan bukan untuk mencari kebenaran salah satu ajaran,karena sebagai wahyu Tuhan Alquran sebagai sumber primer ajaran Islam dah mutlak kebenarannya.

Persamaan-persamaan antara ajaran agama terungkap di atas tadi menunjukkan sama sepenuhnya, melainkan hanya makna dan gambaran secara, begitu pula tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali agama Jatisunda karena agama tersebut sudah ratusan tahun lamanya ditinggalkan oleh orang Sunda yang berarti dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, kecuali pada kalangan masyarakat Kanekes (Baduy) di Banten Selatan.

Dikumpulkan dari berbagai sumber oleh Iqbal Syakur, dan bagian terpenting dari artikel ini dikutip dari tulisan seorang Guru Besar Tamu pada Research Institute for Language

and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.

No comments: